Ringkasan Materi Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) Pancasila
Ringkasan Materi Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) Pancasila
Pancasila
a. Rumusan-Rumusan Pancasila
Pancasila
sebagai dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia telah diterima
secara luas dan telah bersifat final. Hal ini kembali ditegaskan dalam
ketetapan MPR No XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No. IIMPR/1978 tentang Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) dan Penetapan
tentang Penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara jo Ketetapan MPR No. I/MPR/2003
tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002. Selain itu Pancasila
sebagai dasar negara merupakan hasil kesepakatan bersama para Pendiri Bangsa
yang kemudian sering disebut sebagai sebuah "Perjanjian Luhur" bangsa
Indonesia.
Namun di
balik itu terdapat sejarah panjang perumusan sila-sila Pancasila dalam
perjalanan ketatanegaraan Indonesia. Sejarah ini begitu sensitif dan
salah-salah bisa mengancam keutuhan Negara Indonesia. Hal ini dikarenakan
begitu banyak polemik serta kontroversi yang akut dan berkepanjangan baik
mengenai siapa pengusul pertama sampai dengan pencetus istilah Pancasila. Artikel
ini sedapat mungkin menghindari polemik dan kontroversi tersebut. Oleh karena
itu artikel ini lebih bersifat suatu "perbandingan" (bukan
"pertandingan") antara rumusan satu dengan yang lain yang terdapat
dalam dokumen-dokumen yang berbeda. Penempatan rumusan yang lebih awal tidak
mengurangi kedudukan rumusan yang lebih akhir.
Dari kronik
sejarah setidaknya ada beberapa rumusan Pancasila yang telah atau pernah
muncul. Rumusan Pancasila yang satu dengan rumusan yang lain ada yang berbeda
namun ada pula yang sama. Secara berturut turut akan dikemukakan rumusan dari
Muh Yamin, Sukarno, Piagam Jakarta, Hasil BPUPKI, Hasil PPKI, Konstitusi RIS,
UUD Sementara, UUD 1945 (Dekrit Presiden 5 Juli 1959), Versi Berbeda, dan Versi
populer yang berkembang di masyarakat.
1. Rumusan I: Mr. Moh. Yamin
Pada sesi pertama persidangan BPUPKI yang dilaksanakan pada 29
Mei-1 Juni 1945 beberapa anggota BPUPKI diminta untuk menyampaikan usulan
mengenai bahan-bahan konstitusi dan rancangan "blue print" Negara
Republik Indonesia yang akan didirikan. Pada tanggal 29 Mei 1945, Moh. Yamin
menyampaikan usul dasar negara dihadapan sidang pleno BPUPKI baik dalam pidato
maupun secara tertulis yang disampaikan kepada BPUPKI.
(a) Rumusan pidato
Baik
dalam kerangka uraian pidato maupun dalam presentasi lisan Moh. Yamin
mengemukakan lima calon dasar negara, yaitu:
(1)
Peri Kebangsaan
(2)
Peri Kemanusiaan
(3)
Peri ke-Tuhanan
(4)
Peri Kerakyatan
(5)
Kesejahteraan Rakyat
(a) Rumusan tertulis
Selain
usulan lisan Moh. Yamin tercatat menyampaikan usulan tertulis mengenai
rancangan dasar negara. Usulan tertulis yang disampaikan kepada BPUPKI oleh
Moh. Yamin berbeda dengan rumusan kata-kata dan sistematikanya dengan yang
dipresentasikan secara lisan, yaitu:
(1)
Ketuhanan Yang Maha Esa
(2)
Kebangsaan Persatuan Indonesia
(3)
Rasa Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
(4)
Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan
perwakilan
(5) Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
2. Rumusan II: Dr. Soepomo
Pada tanggal 31 Mei 1945, Soepomo pun menyampaikan rumusan dasar negaranya, yaitu:
(1) Persatuan
(2)
Kekeluargaan
(3)
Keseimbangan lahir dan batin
(4)
Musyawarah
(5)
Keadilan rakyat
3. Rumusan III: Ir. Soekarno
Selain
Moh. Yamin dan Soepomo, beberapa anggota BPUPKI juga menyampaikan usul dasar
negara, di antaranya adalah Soekarno. Usul ini disampaikan pada 1 Juni 1945
yang kemudian dikenal sebagai hari lahir Pancasila. Usul Sukarno sebenarnya
tidak hanya satu melainkan tiga buah usulan calon dasar negara yaitu lima
prinsip, tiga prinsip, dan satu prinsip. Sukarno pula-lah yang mengemukakan dan
menggunakan istilah "Pancasila (secara harfiah berarti lima dasar pada
rumusannya ini atas saran seorang ahli bahasa (Moh. Yamin) yang duduk di
sebelah Soekamo. Oleh karena itu rumusan Soekamo tersebut disebut dengan
Pancasila, Trisila, dan Ekasila
(a) Rumusan Pancasila
(1) Kebangsaan Indonesia atau nasionalisme
(2) Internasionalisme atau perikemanusiaan
(3) Mufakat atau demokrasi
(4) Kesejahteraan sosial
(5) Ketuhanan
(b) Rumusan Trisila
(1) Sosionasionalisme
(2) Sosiodemokratis
(3) Ketuhanan
(c) Rumusan Ekasila
(1) Ketuhanan
Usulan-usulan blue print Negara Indonesia telah dikemukakan anggota-anggota BPUPKI pada sesi pertama yang berakhir tanggal 1 Juni 1945. Selama reses antara 2 Juni-9 Juli 1945, 9 orang anggota BPUPKI ditunjuk sebagai panitia kecil yang bertugas untuk menampung dan menyelaraskan usul-usul anggota BPUPKI yang telah masuk. Pada 22 Juni 1945 panitia kecil tersebut mengadakan pertemuan dengan 38 anggota BPUPKI dalam rapat informal. Rapat tersebut memutuskan membentuk suatu panitia kecil berbeda (kemudian dikenal dengan sebutan "Panitia Sembilan").
Persetujuan yang dilakukan oleh Panitia Sembilan tercantum dalam sebuah dokumen "Rancangan Pembukaan Hukum Dasar. Dokumen ini pula yang disebut Piagam Jakarta Jakarta Charter) oleh Moh Yamin. Adapun rumusan rancangan dasar negara terdapat di akhir paragraf keempat dari dokumen "Rancangan Pembukaan Hukum Dasar' (paragraf 1-3 berisi rancangan pernyataan kemerdekaan/proklamasi/ declaration of independence). Rumusan ini merupakan rumusan pertama sebagai hasil kesepakatan para "Pendiri Bangsa".
(a) Rumusan kalimat
... dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan, dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan
yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan mewujudkan
suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia."
(b) Alternatif pembacaan
Alternatif pembacaan rumusan kalimat rancangan dasar negara pada Piagam Jakarta dimaksudkan untuk memperjelas persetujuan kedua golongan dalam BPUPKI sebagaimana terekam dalam dokumen itu dengan menjadikan anak kalimat terakhir dalam paragraf keempat tersebut menjadi sub-sub anak kalimat "... dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan,
[A] dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam
bagi pemeluk.
pemeluknya,
menurut dasar[:]
[A. 1] kemanusiaan yang adil dan beradab,
[A.2] persatuan Indonesia, dan
[A.3]
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan[:]
serta
[B] dengan
mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia."
(c) Rumusan dengan penomoran (utuh)
(1) Ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk pemeluknya
(2) Menurut
dasar kemanusiaan yang adil dan beradab
(3) Persatuan
Indonesia
(4)
Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan
(5) Serta
dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
(d) Rumusan populer
(1) Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk pemeluknya.
(2) Kemanusiaan yang adil dan beradab
(3)
Persatuan Indonesia
(4)
Persatuan Indonesia
(5)
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
5. Rumusan V: BPUPKI
Pada
sesi kedua persidangan BPUPKI yang berlangsung pada 10-17 Juli 1945, dokumen
"Rancangan Pembukaan Hukum Dasar" dibahas kembali secara resmi dalam
rapat pleno tanggal 10 dan 14 Juli 1945. Dokumen "Rancangan Pembukaan
Hukum Dasar" tersebut dipecah dan diperluas menjadi dua buah dokumen
berbeda yaitu Declaration of Independence (berasal dari paragraf 1-3 yang
diperluas menjadi 12 paragraf) dan Pembukaan (berasal dari paragraf 4 tanpa
perluasan sedikitpun). Rumusan yang diterima oleh rapat pleno BPUPKI tanggal 14
Juli 1945 hanya sedikit berbeda dengan rumusan Piagam Jakarta yaitu dengan
menghilangkan kata serta dalam sub-anak kalimat terakhir. Rumusan rancangan
dasar negara hasil sidang BPUPKI, yang merupakan rumusan resmi pertama, jarang
dikenal oleh masyarakat luas.
(a)
Rumusan kalimat
...
dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab,
persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmatkebijaksanaan
dalam permusyawaratan perwakilan, dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia."
(b)
Rumusan dengan penomoran (utuh)
(1) Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
(2) Menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab
(3)
Persatuan Indonesia
(4)
Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan
(5)
Dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
6. Rumusan VI: PPKI
Menyerahnya
Kekaisaran Jepang yang mendadak dan diikuti dengan Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia yang diumumkan sendiri oleh Bangsa Indonesia (lebih awal dari
kesepakatan semula dengan Tentara Angkatan Darat XVI Jepang) menimbulkan
situasi darurat yang harus segera diselesaikan.
Tanggal 18 Agustus 1945 dalam rapat pleno terdapat usulan untuk
menghilangkan frasa "menurut dasar dari Ki Bagus Hadikusumo. Rumusan dasar
negara yang terdapat dalam paragraf keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar ini
merupakan rumusan resmi kedua dan nantinya akan dipakai oleh bangsa Indonesia
hingga kini. UUD inilah yang nantinya dikenal dengan UUD 1945,
(a) Rumusan
kalimat
"...
dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan
beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan mewujudkan suatu
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia."
(b) Rumusan
dengan penomoran (utuh)
(1) ke-Tuhanan Yang Maha Esa
(2) Kemanusiaan yang adil dan beradab
(3) Persatuan Indonesia
(4)
Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan
(5) Serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia
7. Rumusan VII: Konstitusi RIS
Pendudukan wilayah Indonesia oleh NICA menjadikan wilayah Republik Indonesi semakin kecil dan terdesak. Akhirnya pada akhir 1949 Republik Indonesia yang berpusat di Yogyakarta (RI Yogyakarta) terpaksa menerima bentuk negara federal yang disodorkan pemerintah kolonial Belanda dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS) dan hanya menjadi sebuah negara bagian saja. Walaupun UUD yang disahkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945 tetap berlaku bagi RI Yogyakarta, namun RIS sendiri mempunyai sebuah Konstitusi Federal (Konstitusi RIS) sebagai hasil permufakatan seluruh negara bagian dari RIS. Dalam Konstitusi RIS rumusan dasar negara terdapat dalam Mukaddimah (pembukaan) paragraf ketiga, Konstitusi RIS disetujui pada 14 Desember 1949 oleh enam belas negara bagian dan satuan kenegaraan yang tergabung dalam RIS.
(a) Rumusan kalimat
"...,
berdasar pengakuan ke-Tuhanan Yang Maha Esa, perikemanusiaan, kebangsaan,
kerakyatan dan keadilan sosial."
(b)
Rumusan dengan penomoran (utuh)
(1) ke-Tuhanan Yang Maha Esa
(2) perikemanusiaan
(3) kebangsaan
(4) kerakyatan
(5) dan keadilan sosial
8. Rumusan VIII: UUD Sementara
Segera
setelah RIS berdiri, negara itu mulai menempuh jalan kehancuran. Hanya dalam
hitungan bulan negara bagian RIS membubarkan diri dan bergabung dengan negara
bagian RI Yogyakarta. Pada Mei 1950 hanya ada tiga negara bagian yang tetap
eksis yaitu RI Yogyakarta, NIT[13], dan NST[14). Setelah melalui beberapa
pertemuan yang intensif RI Yogyakarta dan RIS, sebagai kuasa dari NIT dan NST,
menyetujui pembentukan negara kesatuan dan mengadakan perubahan Konstitusi RIS
menjadi UUD Sementara. Perubahan tersebut dilakukan dengan menerbitkan UU RIS
No 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia
Serikat menjadi Undang-Undang Dasar Sementara (LN RIS Tahun 1950 No 56, TLN RIS
No 37) yang disahkan tanggal 15 Agustus 1950. Rumusan dasar negara kesatuan ini
terdapat dalam paragraf keempat dari Mukaddimah (pembukaan) UUD Sementara Tahun
1950.
(a)
Rumusan kalimat
"...,
berdasar pengakuan ke-Tuhanan Yang Maha Esa, perikemanusiaan, kebangsaan,
kerakyatan dan keadilan sosial, ..."
(b)
Rumusan dengan penomoran (utuh)
(1) ke-Tuhanan Yang Maha Esa
(2) perikemanusiaan
(3) kebangsaan
(4) kerakyatan
(5) dan keadilan sosial
9. Rumusan IX: UUD 1945
Kegagalan
Konstituante untuk menyusun sebuah UUD yang akan menggantikan UUD Sementara
yang disahkan 15 Agustus 1950 menimbulkan bahaya bagi keutuhan negara. Untuk
itulah pada 5 Juli 1959 Presiden Indonesia saat itu, Sukarno, mengambil langkah
mengeluarkan Dekrit Kepala Negara yang salah satu isinya menetapkan berlakunya
kembali UUD yang disahkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945 menjadi UUD Negara
Indonesia menggantikan UUD Sem Dengan pemberlakuan kembali UUD 1945 maka rumusan
Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan UUD kembali menjadi rumusan resmi yang
digunakan.
Rumusan ini pula yang diterima oleh MPR, yang pernah menjadi
lembaga tertinggi negara sebagai penjelmaan kedaulatan rakyat antara tahun
1960-2004, dalam berbagai produk ketetapannya, di antaranya:
•
Tap MPR No XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia No. 11/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) dan Penetapan tentang Penegasan
Pancasila sebagai Dasar Negara, dan
•
Tap MPR No 111/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-undangan.
(a) Rumusan kalimat
"...
dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan
beradab, Persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta dengan mewujudkan suatu
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia."
(b) Rumusan dengan penomoran (utuh)
(1) Ketuhanan
Yang Maha Esa
(2) Kemanusiaan
yang adil dan beradab
(3) Persatuan
Indonesia
(4)
Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
(5) Serta
dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
10. Rumusan X: Versi Berbeda
Selain
mengutip secara utuh rumusan dalam UUD 1945, MPR pernah membuat rumusan yang
agak sedikit berbeda. Rumusan ini terdapat dalam lampiran Ketetapan MPRS No.
XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik
Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia,
(1)
Ketuhanan Yang Maha Esa
(2)
Kemanusiaan yang adil dan beradab
(3)
Persatuan Indonesia
(4)Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
(5)
Keadilan sosial
11. Rumusan XI: Versi Populer
Rumusan
terakhir yang akan dikemukakan adalah rumusan yang beredar dan diterima secara
luas oleh masyarakat. Rumusan Pancasila versi populer inilah yang dikenal
secara umum dan diajarkan secara luas di dunia pendidikan sebagai rumusan dasar
negara. Rumusan ini pada dasarnya sama dengan rumusan dalam UUD 1945, hanya
saja menghilangkan kata "dan" serta frasa "serta dengan
mewujudkan suatu" pada sub anak kalimat terakhir.
Rumusan ini pula yang terdapat dalam lampiran Tap MPR No
1I/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya
Pancakarsa).
(1) Ketuhanan Yang Maha Esa
(2) Kemanusiaan yang adil dan beradab
(3) Persatuan Indonesia
(4)
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
(5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
b. Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
1. Ketuhanan
Yang Maha Esa
• Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketakwaannya
terhadap
Tuhan Yang Maha Esa.
• Manusia Indonesia percaya dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha
Esa, sesuai
dengan
agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan
beradab.
•
Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama
dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
•
Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa.
•
Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang
menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa. Mengembangkan
sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan
kepercayaannya masing-masing.
•
Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
kepada orang lain.
2.
Kemanusiaan yang adil dan beradab
•
Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
• Mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan kewajiban asasi
setiap
manusia,
tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin,
kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya.
• Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia
• Mengembangkan sikap saling tenggang rasa dan tepa selira,
• Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain.
•
Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Gemar melakukan kegiatan
kemanusiaan.
• Berani membela kebenaran dan keadilan.
•
Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia.
•
Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain.
3. Persatuan
Indonesia
•
Mampu menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa
dan negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan
•
Sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa apabila
diperlukan.
• Mengembangkan rasa cinta kepada tanah air dan bangsa
•
Mengembangkan rasa kebanggaan berkebangsaan dan bertanah air Indonesia, • Memelihara
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial.
• Mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar Bhinneka Tunggal
Ika.
• Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa.
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan
•
Sebagai warga negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia mempunyai kedudukan,
hak, dan kewajiban yang sama.
• Tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain.
•Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.
•
Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan.
•
Menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai sebagai hasil
musyawarah.
•Dengan iktikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil
keputusan musyawarah.
•
Di dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi
dan golongan.
•
Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang
luhur.
•
Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada
Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, nilai-nilai
kebenaran dan keadilan mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan
bersama.
•
Memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang dipercayai untuk melaksanakan
pemusyawaratan.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
• Mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan
suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan.
• Mengembangkan sikap adil terhadap sesama.
• Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
• Menghormati hak orang lain.
• Suka memberi pertolongan kepada orang lain agar dapat berdiri sendiri
•
Tidak menggunakan hak milik untuk usaha-usaha yang bersifat pemerasan terhadap
orang lain.
•
Tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bersifat pemborosan dan gaya
hidup mewah.
•Tidak menggunakan hak milik untuk bertentangan dengan atau merugikan kepentingan
umum.
• Suka bekerja keras.
•Suka menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat bagi kemajuan dan
kesejahteraan bersama.
•Suka melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang merata dan
berkeadilan sosial.